Jumat, 20 Januari 2012

SUMBERDAYA HUTAN MANGROVE


Pengertian Mangrove
            Mangrove adalah tipe tumbuhan yang khas di sepanjang pantai atau muara sungai daerah tropis yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut.  Hutan mangrove mempunyai sebutan umum yang biasa digunakan untuk menggambarkan suatu komunitas tropik yang didominasi oleh beberapa spesies pohon-pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh di parairan asin.
            Mangrove berkembang di daerah pantai yang berair tenang dan telindung dari pengaruh ombak besar serta ekosistemnya tergantung pada adanya aliran air tawar dari darat dan air laut.
            Luas hutan mangrove di Indonesia diperkirakan sekitar kurang lebih 4,25 juta ha atau 3,98% dari seluruh luas hutan Indonesia.  Areal hutan mangrove yang luas antara lain terdapat di pesisir Sumatera, pesisir Kalimantan dan pesisir selatan Irian Jaya (Dahuri, dkk., 1996).
            Hutan mangrove di Jawa banyak yang telah mengalami kerusakan atau telah hilang sama sekali karena ulah manusia.  Tetapi di Irian Jaya terdapat hutan mangrove yang sangat luas 2,94 juta ha, atau 69% dari seluruh hutan mangrove Indonesia dan masih banyak merupakan hutan asli yang belum terganggu (Nontji, 2002).
            Berbagai tumbuhan dari hutan mangrove dimanfaatkan untuk bermacam keperluan.  Produk hutan mangrove antara lain digunakan untuk kayu bakar, pembuatan arang, bahan penyamak (tanin), untuk berbagai perabot rumah tangga, bahan konstruksi bangunan, obat-obatan dan sebagai bahan untuk industri kertas.  Sering terjadi eksploitasi secara berlebihan hingga merusak fungsi ekosistem mangrove ini.  Selain itu, kawasan mangrove juga sering dialihkan fungsinya misalnya dijadikan tambak, diubah menjadi lahan pertanian, atau dijadikan daerah pemukiman (Nontji, 2002).
            Keuntungan demi keuntungan memang telah banyak diraih dari eksploitasi dan pengalihan peruntukan hutan mangrove, karena telah banyak membantu meningkatkan pendapatan masyarakat dan negara.  Aka tetapi, keuntungan-keuntungan yang diperoleh pada dasarnya hanyalah bersifat sementara.  Sekali ekosistem alami menjadi rusak biasanya sulit untuk memulihkannya kembali seperti sediakala.
            Oleh karena itu, mengingat hutan mangrove mempunyai peranan penting bagi perairan pantai, maka laju pemanfaatannya hanedaknya tidak melampaui kemampuan pulihnya (potensi lestari) dalam kurun waktu tertentu.  Artiya perlu pemanfaatan seumberdaya alam secara optimal.  Untuk itu diperlukan informasi tentang pemanfaatan guna kelestarian sumberdaya mangrove tersebut dari waktu ke waktu.
II.  PEMANFAATAN MANGROVE
            Sumberdaya pada kawasan pesisir  sering bersifat umum (open access) karena tidak jelasnya hak kepemilikan. Interaksi antara lahan dan laut melalui proses hidrologis dan arus laut sebagaimana pergerakan biotanya, menunjukkan bahwa pengembangan proyek di kawasan tersebut akan mengakibatkan dampak eksternal yang nyata. Pengelolaan dan perlindungan sumberdaya pesisir sebagai suatu kegiatan sumber  ekonomi memiliki jaminan yang lebih kuat dibanding sektor lainya untuk mencapai proses pembangunan berkelanjutan hal ini disebabkan karena dua hal yaitu:
-          Sumberdaya tersebut dapat diperbaharui
-          Pengelolaan dan perlindungan yang baik dapat memelihara lingkungan hingga lestari.
Dalam hal ini hutan mangrove merupakan sebaran ekosistem yang khas yang mempunyai peranan besar bagi organisme atau biota yang hidup di lingkungan sekitarnya.  Kawasan hutan mangrove juga berperan sebagai wilayah perlindungan terhadap gelombang laut.  Hal ini dijelaskan oleh Abdullah (1986) bahwa pemanfaatan hutan bakau yang tidak terkendali akan membawa pengaruh terhadap bentuk pantai, deburan ombak, disamping mekanisme akar nafas yang berfungsi mendorong pengendapan lumpur sehingga kemungkinan dalam waktu lama akan terjadi penambahan pantai.
Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem wilayah pesisir yang subur dengan produktifitas yang tinggi dan merupakan ruang kehidupan biota darat dan laut (Pangerang, 1997).
Dari pemanfaatannya, suatu hutan mangrove memiliki fungsi (multi function ) meliputi fungsi ekologis, fungsi biologis dan fungsi ekonomis.
a.      Peranan Mangrove dari Segi Ekologis
Peranan mangrove dari segi ekologis adalah sebagai berikut :
  1.  Sebagai pembentukan lumpur dan pembentukan lahan.  Dari manfaat ini sangat membutuhkan perhatian dimana merupakan pengikat lumpur terutama yang berasal dari sungai-sungai atau hasil erosi pada waktu hujan yang akan diikat oleh sistem perakaran yang padat pada mangrove sehingga dapat terbentuk lahan baru. 
  2.  Merupakan pelindung dan stabilitas garis pantai. 
  3.  Merupakan habitat alami dari beberapa satwa liar terutama binatang yang berasal dari daratan dan merupakan daerah asuhan beberapa binatang aquatik. 
  4.  Penghasil bahan organik di pantai, ini diperkirakan 35-60% dari semua unsur hara yang larut dalam air. 
  5.  Menentukan instrusi atau merembesnya air laut ke daratan. 
  6.  Sebagai pengendali banjir.
  7. Sebagai penyerap bahan pencemar.  Hutan mangrove tumbuh disekitar perkotaan pusat pemukiman dapat berfungsi sebagai penyerap bahan pencemar, khususnya bahan organik. 
  8. Sebagai sumber energi atau bahan organik bagi lingkungan disekitarnya. 
  9.  Mangrove dapat mengontrol penyakit malaria, karena mangrove dapat memelihara kualitas air, menyerap CO2, dan penghasil O2 yang relatif tinggi dibanding tipe hutan lain.
Ekosistem hutan mangrove mempunyai produktifitas yang tinggi, oleh karena itu mampu menopang keanekaragaman yang tinggi, daun mangrove yang berguguran dapat dimanfaatkan oleh fungi, bakteri dan protozoa diuraikan menjadi bahan organik komponen sederhana yang menjadi sumber makanan bagi biota perairan (Sukardjo,1985).
            Soeroyo (1987) mengemukakan bahwa sebagian besar serasah yang umumnya berasal dari pohon-pohon mangrove ini akan terlarut dalam air sebagai material halus.  Sehingga sekitar 35 -60 % dari semua unsur hara yang terlarut dari air perairan dekat pantai berasal dari mangrove, selain itu ekosistem mangrove berfungsi sebagai pengikat lumpur (sedimen) terutama yang berasal dari sungai-sungai ataupun hasil erosi pada waktu hujan akan diikat oleh mangrove hal ini disebabkan karena mangrove memiliki sistem perakaran yang padat sehingga menahan sedimen sehingga terbentuk lahan baru (Nybakken, 1992).
            Selanjutnya whitten, dkk. (1987), menjelaskan bahwa gangguan besar-besaran tanpa kendali terhadap hutan mangrove dapat menyebabkan pengikisan pantai, karena baris pantai tidak lagi dilindungi oleh pohon-pohon.  Pantai dapat tereduksi menjadi suatu jalur sempit yang berpasir atau menjadi hamparan-hamparan garam yang tidak ramah.  Pusat-pusat  pemukiman penduduk menjadi lebih rawan terhadap banjir.
            Lebih lanjut Djamaluddin (1999), menyatakan bahwa secara ekologi hutan mangrove dapat mencegah erosi tanah, melindungi benih-benih yang sedang tumbuh dari gangguan ombak, memberikan unsur hara kepada tanah serta menyediakan habitat bagi ikan dan krustacea.
            Menurut Nontji (2002), bahwa sumbangan terpenting hutan mangrove terhadap ekosistem perairan pantai adalah lewat luruhan daunnya yang gugur berjatuhan ke dalam air.  Luruhan daun mangrove ini merupakan sumber bahan organik yang penting dalam rantai pakan (food chain) di dalam lingkungan perairan yang bisa mencapai 7-8 ton/ha/tahun.  Kesuburan perairan disekitar kawasan mangrove kuncinya terletak pada masukan bahan organik yang berasal dari guguran daun ini.  Daun yang gugur ke dalam air segera menjadi bahan makanan bagi berbagai jenis hewan air.  Atau dihancurkan lebih dulu oleh jamur (fungi) dan bakteri.  Hancuran bahan-bahan organik (detritus) kemudian menjadi bahan makanan penting bagi cacing, krustacea dan hewan-hewan lain.  Pada tingkat berikutnya hewan-hewan ini pun menjadi makanan bagi hewan-hewan lainnya yang lebih besar dan seterusnya.
b.      Peranan Mangrove dari Segi Biologi
Secara  biologi peranan mangrove yang menyangkut rantai makanan, ekosistem mangrove merupakan produsen primer melalui serasah yang dihasilkan. Serasah hutan setelah melalui dekomposisi oleh sejumlah mikroorganisme, menghasilkan detritus dan  berbagai jenis fitoplankton yang akan dimanfaatkan oleh konsumen primer yang terdiri dari zooplankton,ikan dan udang, kepiting sampai akhir  dimangsa oleh manusia sebagai konsumen utama. Vegetasi hutan mangrove juga merupakan pendaur ulang hara tanah yang diperlukan bagi tanaman. Hasil penelitian di Florida menunjukkan bahwa 90% kotoran hutan menghasilkan 35-60% unsur hara yang terlarut di pantai. Selain daun bakau-bakau (Rhizophora spp) pada awal pembusukannya mengandung kadar protein 3.1% dan setelah satu tahun meningkat menjadi 21%. Kadar N daun kering adalah sekitar 0.55% dan diperkirakan setelah satu tahun menghasilkan sekitar 47 kg N. Dan dalam satu hektar lahan hutan mangrove serasahnya dapat mencapai 7.1-8.8 ton per tahun  (Syah, 1985).
Dalam hal peranan hutan mangrove sebagai wilayah asuhan biota perairan, Hatsir Hessa (1987) dalam Syah (1988), menjelaskan bahwa sebagian besar udang bernilai ekonomis penting di laut memanfaatkan estuari sebagai asuhan.  Udang Galah (Macrobarachionus sp.) masuk ke dalam estuari untuk memijah, sedangkan larva dan juvenilnya akan kembali ke sungai.  Ikan-ikan yang masuk banyak Siluroides, Pleuronectiformes,  dan Polineforme merupakan yang dominan tertangkap dengan jala.  Berdasarkan ukuran dan tingkat kedewasaan ternyata ikan-ikan yang tertangkap belum dewasa.  Hal ini menunjukkkan bahwa daerah tersebut adalah daerah asuhan.
         Ekosistem mangrove merupakan tempat asuhan (nursery ground) dan mencari makan (feeding ground) bagi sebahagian besar jenis ikan dan udang, dan di dalam ekosistem mangrove yang kaya akan unsur hara ini,  hewan-hewan muda akan tumbuh secara lebih bagus menjadi dewasa dan terhindar dari hewan predator (Hardjosuwarno, et al., 1982).
         Ekosistem mangrove juga berperan sebagai daerah asuhan dan bermain serta mencari makanan dari berbagai macam ikan (Sukardjo, 1985).  Berbagai jenis hewan laut hidup di kawasan ini sangat bergantung pada eksistensi hutan mangrove.  Perairan mangrove dikenal berfungsi sebagai tempat asuhan (nusery ground) bagi berbagai jenis hewan aquatik yang mempunyai nilai ekonomi penting, seperti ikan, udang, dan kerang-kerangan (Nontji, 2002).
Banyak  penelitian menunjukkan bahwa mangrove memainkan peran yang penting bagi beberapa spesies ikan yang ada ,di pesisir. Kasus terbanyak adalah udang, dimana udang dewasa  yang berada di laut dan larva menuju ke pesisir  dengan aktif berenang dan secara pasif dibawa oleh arus pasang surut. Sebagai fungsi tempat pembesaran,ekosistem mangrove dapat dijelaskan oleh tiga faktor: tingkat tropik sumberdaya, kekeruhan air,dan keanekaragaman yang terstruktur.
  • Pertama, konsentrasi bahan organik yang sangat tinggi pada ekosistem estuary termasuk mangrove disebabkan karena adanya aliran air tawar,sebagai penjebak zat hara,pencampuran air yang disebabkan oleh adanya pasang surut dan terjadinya modulasi lingkungan (Knox 1986) Semua faktor diatas menghasilkan produktivitas yang tinggi di ekosistem ini. Dan hal ini merupakan dasar dari jaring makanan pada ekosistem mangrove dimana jenis-jenis larva udang,plankton dan juvenil ikan tersedia melimpah dan beraneka ragam.
  • Kedua, kekeruhan yang terjadi di suatu perairan dapat mengakibatkan menurunnya jangkauan jarak penglihatan dari predator yang ada di wilayah tersebut dan memperluas daerah pembesaran ikan,dan akhirnya dapat meningkatkan tingkat hidup dari ikan-ikan muda yang banyak terdapat pada ekosistem tersebut.
  • Ketiga, struktur keanekaragaman dan tersedianya habitat yang sesuai dengan ekosistem mangrove dalam penyediaan ruang yang lebih luas dan adanya niche yang bertingkat merupakan hal yang penting dan mengakibatkan banyaknya ikan-ikan muda yang tersedia di ekosistem ini.
c.       Peranan Mangrove dari Segi Ekonomi
Peranan mangrove dari segi ekonomi antara lain dimanfaatkan untuk berbagai keperluan, yaitu:
  1. Sumber bahan bakar untuk memasak, kayu bakar yang digunakan untuk mengasapi ikan dan keperluan bahan bakar lainnya. 
  2. Sumber bangunan: material pembuatan kapal, perahu layar, papan untuk dinding rumah dan sebagainya. 
  3.  Bidang pertanian yang mencakup makanan ternak, pupuk hijau. 
  4.  Bahan baku pabrik kertas. 
  5. Makanan, obat-obatan dan sayur-sayuran.
Peranan mangrove dari segi ekonomi antara lain dimanfaatkan berbagai keperluan, produk hutan mangrove dapat dipergunakan sebagai bahan bakar, pembuatan arang, bahan penyamak untuk berbagai perabot rumah tangga, bahkan konstruksi bangunan, obat-obatan, sebagai bahan pembuat kertas, selain itu kawasan mangrove juga sering dialihfungsikan misalnya dijadikan areal pertambakan, pertanian atau dijadikan daerah pemukiman (Nontji, 2002).
            Selanjutnya menurut Djamaluddin (1999), bahwa secara ekonomi pohon mangrove digunakan untuk produk kayu bakar, bahan bangunan dan penanaman rumput laut.  Bahkan Saenger et al., (1983) telah mengidentifikasikan lebih dari 70 macam kegunaan pohon mangrove bagi kepentingan umat manusia, baik produk langsung seperti: bahan bakar, bahan bangunan, alat penangkap ikan, pupuk pertanian, bahan baku kertas, makanan, obat-obatan, minuman dan tekstil maupun produk tidak langsung seperti: tempat rekreasi dan bahan makanan.  Menurut Nasrawati (1998), bahwa pemanfaatan hutan bakau oleh masyarakat secara umum digunakan untuk kayu bakar, bahan bangunan, obat-obatan, tambak dan sumber sayuran.  Sesuai dengan pernyataan Dahuri, dkk., (1996) bahwa sekitar 50 produk langsung dan tidak langsung di hutan bakau berupa kayu bakar, bahan bangunan, alat penangkapan ikan, pupuk, bahan baku kertas, bahan makanan, obat-obatan, minuman, peralatan rumah tangga, bahan baku tekstil, kulit, madu, lilin dan tempat rekreasi.
Dalam manajemen pengelolaan ekosistem mangrove terdapat kelemah dalam  pengelolaannya, baik dalam sumberdaya manusia, perencanaan, pengorganisasi/ pelembagaan, pelaksanaan dan pengawasan, serta keterbatasan data dan informasi sumberdaya hutan mangrove serta IPTEK untuk mendukung penataan ruang, pembinaan, pemanfaatan dan perlindungan serta rehabilitasinya mendorong terjadinya degradasi hutan mangrove. Kondisi yang demikian sering menimbulkan tumpang tindih pemanfaatan hutan mangrove, terutama dalam hal perutukannya, antara lain tumpang tindih dalam pemanfaatan antara bidang kehutanan, pertanian/perikanan, pertambangan, transmigrasi, perhubungan, pariwisata, dan perindustrian. Terjadinya konflik kepentingan dalam pemanfaatan hutan mangrove mencerminkan pemikiran yang bersifat sektoral dan kurangnya kesadaran dan pengetahuan mengenai manfaat dan fungsi hutan mangrove dari pengambil kebijakan. 
III.  PELESTARIAN MANGROVE.
Menurut Hardjasoemantri (1986) menyatakan bahwa penyebab kerusakan hutan mangrove bukan saja rakyat sekitar hutan yang miskin, tetapi juga para pengusahan dan pejabat yang kurang berpengalaman dan tanggung jawabnya dalam hal-hal yang menyangkut pelestarian sumber daya alam hutan.  Lebih lanjut dikemukakan bahwa untuk menanggulangi kerusakan hutan mangrove di daerah-daerah sumber benih dan udang maka akan terus dilaksanakan usaha-usaha rehabilitasi hutan mangrove yang rusak melalui kegiatan reboisasi dan penghijauan.
Sehubungan dengan pelestarian lingkungan pantai, Rahardjo (1986) mengemukakan bahwa alternatif yakni lebar jalur hijau hutan meangrove dibatasi oleh garis rata-rata pasang tertinggi.  Alternatif ini dapat diambil bila diinginkan daya guna biologis dan perlindungan pantai yang maksimum atau pada daerah yang berpantai terjal yang memerlukan perlindungan.  Alternatif lainnya juga disebutkan bahwa lebar jalur hijau hutan bakau dibatasi oleh garis rata-rata permukaan laut.  Kebijaksanaan ini diperlukan oleh daerah pantai yang memungkinkan bagi usaha pertambakan.
Jalur hijau hutan mangrove diklasifikasikan sebagai hutan  lindung yakni merupakan daerah yang berfungsi sebagai pelindung tanah terhadap erosi pantai, pelindung tepi sungai, pelindung tepi bangunan jalan, jalur yang berperan sebagai tempat asuhan bagi kepentingan perikanan dan stabilitas ekosistem perairan.  Disamping sebagai jalur hijau, hutan mangrove juga dapat berperan sebagai filter terhadap pencemaran industri, karena kemampuannnya menyerap logam berat, hidrokarbon dari minyak dan sebagainya.  Serta mengurangi meluasnya intrusi air laut (Darsidi dan Liang, 1986).
Jalur hijau hutan mangrove merupakan suatu ekosistem yang mampu menghasilkan bahan organis yang penting peranannya untuk mempertahankan produktifitas perairan.
Jalur hijau mangrove merupakan suatu ekosistem yang mampu menghasilkan bahan organik yang penting peranannya untuk mempertahankan produktifitas perairan dan juga dimaksudkan  sebagai  penyangga daratan dari perembesan air laut serta pencegahan erosi, ombak dan hempasan air laut yang kuat (Soewito, 1982). 
Hal ini dikuatkan dengan adanya surat keputusan bersama Menteri Pertanian dan Menteri Kehutanan Nomor KB550/264/Kpts/4/1984 dan Nomor 082/Kpts-II/1984, tanggal 30 April 1984, dimana diantaranya disebutkan bahwa lebar sabuk hijau hutan mangrove adalah 200 m.  Surat Keputusan Bersama ini dibuat selain dengan tujuan utamanya untuk memberikan legitimasi terhadap perlindungan hutan mangrove, juga dibuat untuk menyelaraskan peraturan mengenai areal perlindungan hutan mangrove diantara instansi-instansi terkait (Bengen, 2001).
Surat Keputusan Bersama ini lebih lanjut dijabarkan oleh Departemen Kehutanan dengan mengeluarkan Surat Edaran Nomor 507/IV-BPHH/1990 yang diantaranya berisi penentuan lebar sabuk hijau pada hutan mangrove, yaitu lebar 200m disepanjang pantai dan 50 m disepanjang tepi sungai (Bengen, 2001). 
Selain pelebaran jalur hijau, upaya pelestarian dapat dilakukan dengan melakukan rehabilitasi hutan mangrove yang telah mengalami kerusakan terutama yang sudah berada dalam batas yang mengkhawatirkan. Kerusakan ekosistem tempat berbagai jenis satwa laut ini tinggal dapat disebabkan oleh penebangan liar. Sebab lainnya adalah tambak-tambak dan kolam-kolam perikanan air payau yang menyedot habis air dari ekosistem alami mangrove. Dan, yang paling parah adalah ditebangnya hutan bakau untuk pemukiman.
Muncul pertanyaan, mengapa keberadaan hutan mangrove perlu dijaga kelestariannya? Dalam dunia perikanan, hutan mangrove berfungsi antara lain sebagai tempat mencari makan, berlindung, dan tempat berbiaknya beberapa jenis fauna akuatik seperti udang, ikan, dan moluska. Di samping itu kawasan hutan bakau (mangrove) mempunyai arti penting dalam ekosistem pantai baik dari segi ekologis maupun ekonomis. Untuk itu rehabilitasi hutan bakau dilaksanakan sebagai salah satu upaya yang bertujuan menjaga dan mengembalikan fungsi hutan bakau sebagai salah satu penyangga sistem kehidupan khususnya di wilayah pantai. Upaya rehabilitasi mangrove tidak dapat dipisahkan dengan upaya memberdayakan masyarakat pantai. 
Oleh karenanya itu perlu adanya kegiatan untuk rehabilitasi hutan mangrove yang didasarkan pada kriteria sebagai berikut
a.  Kondisi Fisik dan Sosial Ekonomi Iingkungan.
Kondisi fisik didasarkan pada hasil survey dilapangan yang berupa tekstur tanah, struktur tanah, salinitas tanah dan air, pH tanah dan air, serta aktlvitas masyarakat di sekitar hutan mangrove.
b.  Fungsi Ekosistem Mangrove
Fungsi ekosistem didasarkan pada (a) fungsi ekologis berupa habitat kehidupan flora dan fauna mangrove, sistem penyangga kehidupan, menjaga kesuburan tanah, pengatur tata air, mencegah erosi, serta pengawetan flora dan fauna. (b) fungsi produksi misalnya untuk produksi kayu, (c) fungsi sosial ekonomi yaitu untuk tambak dan nelayan, (d) fungsi rekreasi dan wisata.
c.  Kegiatan Pemanfaatan Hutan Mangrove
Kegiatan pemanfaatan areal mangrove sebagai (1) buffer zone atau green belt bagi masalah intrusi dan abrasi, menjaga garis pantai tetap stabil,melindungi pantai dan tebing sungai,mencegah terjadinya erosi pantai , serta sebagai zat perangkap zat pencemar dan limbah. (2) untuk konversi tambak ikan dan udang intensif, (3) sistem silvofishery, (4) konversi menjadi pemukiman (5) hutan lindung dan suaka margasatwa, (6) hutan wisata.
d.  Jenis Tanaman Mangrove yang Dipilih
Jenis tanaman mangrove yang dipilih untuk ditanam di areal rehabilitasi adalah jenis tanaman yang memiliki kecocokan dengan kondisi lingkungan dan disukai oleh masyarakat.
Kawasan hutan mangrove yang rusak terdapat di hutan mangrove yang memiliki kerapatan jarang hingga sangat jarang. Kondisi hutan mangrove di daerah tersebut kalau tidak segera direhabilitasi dikhawatirkan akan rusak parah. Oleh karena itu, untuk mempertahankan fungsi ekologis hutan mangrove, rehabilitasi mangrove perlu dilakukan di kawasan hutan mangrove yang mempunyai kerapatan jarang hingga sangat jarang atau yang sudah gundul.
Prinsip pemilihan tanaman adalah bahwa jenis yang sama dengan yang telah ada di lokasi merupakan pilihan terbaik. Artinya apabila yang ada adalah Avicennia sp., maka yang ditanam pun harus jenis tersebut.  Meskipun pada beberapa kasus, jenis Rhizophora sering digunakan karena bibit mudah didapat dan pertumbuhan relatif lebih cepat dibandingkan jenis lain. Pada wilayah pesisir yang terbuka, jenis pohon yang dominan dan merupakan pohon perintis umumnya adalah api-api dan pedada.Api-api lebih senang hidup pada tanah berpasir agak keras,sedangkan pedada pada tanah yang berlumpur lembut.Pada daerah  yang terlindung dari hempasan ombak,komunitas mangrove biasanya didominasi oleh pohon bakau. Lebih kearah daratan (hulu),pada tanah lempung yang agak  pejal biasanya tumbuh komunitas tanjang.Nipa (Nypa) merupakan sejenis palma dan merupakan komponen penyusun ekosistem mangrove sering kali  tumbuh di tepian sungai lebih ke hulu, pengaruh aliran air tawar dominan.
Parameter lingkungan yang utama  yang menentukan kelangsungan hidup dan pertumbuhan mangrove adalah:
-          Pasokan air tawar dan salinitas
-          Stabilitas substrat
-          Pasokan nutrien
Ketersediaan air tawar dan salinitas (kadar garam) mengendalikan efisiensi metabolisme dari ekosistim mangrove.Ketersediaan air bergantung pada :
-          Frekuensi dan volume aliran air tawar
-          Frekuensi dan volume pertukaran pasang surut
-          Tingkat evaporasi
Stabilitas substrat, kondisi yang diperlukan bagi pertumbuhan mangrove adalah nibah (ratio) antara laju erosi dan pengendapan sedimen, yang sangat dipengaruhi oleh kecepatan aliran air tawar dan muatan sedimen yang dikandungnya,laju pembilasan oleh arus pasang surut ,dan gaya gelombang. Sedang pasokan nutrien bagi ekosistem mangrove ditentukan oleh berbagai proses yang saling yang terkait, meliputi input/export  dari ion-ion mineral anorganik dan bahan organik serta pendaurulangan nutrien secara internal melalui jaring makanan berbasis detritus. Konsentrasi  relatif dan nisbah (ratio) optimal dari nutrien yang diperlukan untuk pemeliharaan produktivitas ekosistem dan ditentukan oleh :
-          Frekuensi, jumlah dan lamanya penggenangan oleh air asin atau air tawar
-          Dinamika sirkulasi internal dari  kompleks detritus (Odum 1982)
REFERENSI BUKU
Abdullah, A.  1986.  Debur Lautan Kita.  Kantor Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup.  Jakarta.
Bengen, D. D., 2001.  Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove.  Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan-IPB.  Bogor.
Brotowidjoyo, M.D., 1995.  Pengantar Lingkungan Perairan dan Budidaya Air.  Liberty.  Yogyakarta.
Dahuri, R., J. Rais, S.P., Ginting, M.J., Sitepu., 1996.l  Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu.  Pradnya Paramita.  Jakarta.
Darsidi, A. dan Lang, D.H., 1986.  Jalur Hijau Hutan Mangrove dalam Konteks Tata Guna Hutan Pnatai (Makalah pada Diskusi Panel Daya Guna dan Batas Lebar Jalur Hijau Hutan Mangrove).  Ciloto.  Panitia Program MAB-LIPI.  Jakarta.
Djamaluddin, R., 1999.  Vegetasi Mangrove di Taman Nasional Bunaken, Sulawesi Utara, Indonesia.  Wallacean Conservation Bulletin No. 1.  Manado.
Hardjosoemantri, K., 1986.  Hukum Tata Lingkungan.  Gadjah Mada University Press.  Yogyakarta.
Nontji, A., 2002.  Laut Nusantara.  Djambatan.  Jakarta.
Nybakken, J.W., 1992.  Biologi Laut; Suatu Pendekatan Ekologis.  PT. Gramedia.  Jakarta.
Odum,W.E., 1982.  The Ekologi of the Mangrove of South Florida a Community Profile.Washington D.C.
Pangerang, U.K., 1998.  Kontribusi Ekstraksi Kayu Bakau Terhadap Pendapatan Masyarakat Nelayan (Studi Kasus di Desa Latawe Kec. Napabalano Kab. Muna Prop. Sulawesi Tenaggara).  Lembaga Penelitian Universitas Haluoleo.  Kendari.
Syah, A., 1988.  Dampak Eksploitasi Hutan Bakau Terhadap Lingkungan.  Thesis Program Pasca Sarjana Universitas Hasanudin.  Ujung Pandang.
Whitten, J.A., 1987.  Ekologi Sulawesi.  Gadjah Mada University Press.  Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar