Pengertian Mangrove
Mangrove
adalah tipe tumbuhan yang khas di sepanjang pantai atau muara sungai daerah
tropis yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Hutan mangrove mempunyai sebutan umum yang
biasa digunakan untuk menggambarkan suatu komunitas tropik yang didominasi oleh
beberapa spesies pohon-pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai
kemampuan untuk tumbuh di parairan asin.
Mangrove berkembang di daerah pantai
yang berair tenang dan telindung dari pengaruh ombak besar serta ekosistemnya
tergantung pada adanya aliran air tawar dari darat dan air laut.
Luas hutan mangrove di Indonesia
diperkirakan sekitar kurang lebih 4,25 juta ha atau 3,98% dari seluruh luas
hutan Indonesia. Areal hutan mangrove
yang luas antara lain terdapat di pesisir Sumatera, pesisir Kalimantan dan pesisir
selatan Irian Jaya (Dahuri, dkk., 1996).
Hutan mangrove di Jawa banyak yang
telah mengalami kerusakan atau telah hilang sama sekali karena ulah
manusia. Tetapi di Irian Jaya terdapat
hutan mangrove yang sangat luas 2,94 juta ha, atau 69% dari seluruh hutan
mangrove Indonesia dan masih banyak merupakan hutan asli yang belum terganggu
(Nontji, 2002).
Berbagai tumbuhan dari hutan
mangrove dimanfaatkan untuk bermacam keperluan.
Produk hutan mangrove antara lain digunakan untuk kayu bakar, pembuatan
arang, bahan penyamak (tanin), untuk berbagai perabot rumah tangga, bahan
konstruksi bangunan, obat-obatan dan sebagai bahan untuk industri kertas. Sering terjadi eksploitasi secara berlebihan
hingga merusak fungsi ekosistem mangrove ini.
Selain itu, kawasan mangrove juga sering dialihkan fungsinya misalnya
dijadikan tambak, diubah menjadi lahan pertanian, atau dijadikan daerah
pemukiman (Nontji, 2002).
Keuntungan demi keuntungan memang
telah banyak diraih dari eksploitasi dan pengalihan peruntukan hutan mangrove,
karena telah banyak membantu meningkatkan pendapatan masyarakat dan
negara. Aka tetapi,
keuntungan-keuntungan yang diperoleh pada dasarnya hanyalah bersifat
sementara. Sekali ekosistem alami
menjadi rusak biasanya sulit untuk memulihkannya kembali seperti sediakala.
Oleh karena itu, mengingat hutan
mangrove mempunyai peranan penting bagi perairan pantai, maka laju
pemanfaatannya hanedaknya tidak melampaui kemampuan pulihnya (potensi lestari)
dalam kurun waktu tertentu. Artiya perlu
pemanfaatan seumberdaya alam secara optimal.
Untuk itu diperlukan informasi tentang pemanfaatan guna kelestarian
sumberdaya mangrove tersebut dari waktu ke waktu.
II. PEMANFAATAN
MANGROVE
Sumberdaya pada kawasan
pesisir sering bersifat umum (open access) karena tidak jelasnya hak
kepemilikan. Interaksi antara lahan dan laut melalui proses hidrologis dan arus
laut sebagaimana pergerakan biotanya, menunjukkan bahwa pengembangan proyek di
kawasan tersebut akan mengakibatkan dampak eksternal yang nyata. Pengelolaan
dan perlindungan sumberdaya pesisir sebagai suatu kegiatan sumber ekonomi memiliki jaminan yang lebih kuat
dibanding sektor lainya untuk mencapai proses pembangunan berkelanjutan hal ini
disebabkan karena dua hal yaitu:
-
Sumberdaya tersebut dapat diperbaharui
-
Pengelolaan dan perlindungan yang baik dapat memelihara
lingkungan hingga lestari.
Dalam hal ini hutan mangrove merupakan sebaran ekosistem yang khas yang
mempunyai peranan besar bagi organisme atau biota yang hidup di lingkungan
sekitarnya. Kawasan hutan mangrove juga
berperan sebagai wilayah perlindungan terhadap gelombang laut. Hal ini dijelaskan oleh Abdullah (1986) bahwa
pemanfaatan hutan bakau yang tidak terkendali akan membawa pengaruh terhadap
bentuk pantai, deburan ombak, disamping mekanisme akar nafas yang berfungsi
mendorong pengendapan lumpur sehingga kemungkinan dalam waktu lama akan terjadi
penambahan pantai.
Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem wilayah pesisir yang
subur dengan produktifitas yang tinggi dan merupakan ruang kehidupan biota
darat dan laut (Pangerang, 1997).
Dari pemanfaatannya, suatu hutan mangrove memiliki fungsi (multi function ) meliputi fungsi
ekologis, fungsi biologis dan fungsi ekonomis.
a.
Peranan
Mangrove dari Segi Ekologis
Peranan mangrove dari segi ekologis adalah sebagai berikut :
- Sebagai pembentukan lumpur dan pembentukan lahan. Dari manfaat ini sangat membutuhkan perhatian dimana merupakan pengikat lumpur terutama yang berasal dari sungai-sungai atau hasil erosi pada waktu hujan yang akan diikat oleh sistem perakaran yang padat pada mangrove sehingga dapat terbentuk lahan baru.
- Merupakan pelindung dan stabilitas garis pantai.
- Merupakan habitat alami dari beberapa satwa liar terutama binatang yang berasal dari daratan dan merupakan daerah asuhan beberapa binatang aquatik.
- Penghasil bahan organik di pantai, ini diperkirakan 35-60% dari semua unsur hara yang larut dalam air.
- Menentukan instrusi atau merembesnya air laut ke daratan.
- Sebagai pengendali banjir.
- Sebagai penyerap bahan pencemar. Hutan mangrove tumbuh disekitar perkotaan pusat pemukiman dapat berfungsi sebagai penyerap bahan pencemar, khususnya bahan organik.
- Sebagai sumber energi atau bahan organik bagi lingkungan disekitarnya.
- Mangrove dapat mengontrol penyakit malaria, karena mangrove dapat memelihara kualitas air, menyerap CO2, dan penghasil O2 yang relatif tinggi dibanding tipe hutan lain.
Ekosistem hutan mangrove mempunyai produktifitas yang tinggi, oleh karena
itu mampu menopang keanekaragaman yang tinggi, daun mangrove yang berguguran
dapat dimanfaatkan oleh fungi, bakteri dan protozoa diuraikan menjadi bahan
organik komponen sederhana yang menjadi sumber makanan bagi biota perairan
(Sukardjo,1985).
Soeroyo (1987) mengemukakan bahwa
sebagian besar serasah yang umumnya berasal dari pohon-pohon mangrove ini akan
terlarut dalam air sebagai material halus.
Sehingga sekitar 35 -60 % dari semua unsur hara yang terlarut dari air
perairan dekat pantai berasal dari mangrove, selain itu ekosistem mangrove
berfungsi sebagai pengikat lumpur (sedimen) terutama yang berasal dari sungai-sungai
ataupun hasil erosi pada waktu hujan akan diikat oleh mangrove hal ini
disebabkan karena mangrove memiliki sistem perakaran yang padat sehingga
menahan sedimen sehingga terbentuk lahan baru (Nybakken, 1992).
Selanjutnya whitten, dkk. (1987), menjelaskan bahwa gangguan
besar-besaran tanpa kendali terhadap hutan mangrove dapat menyebabkan
pengikisan pantai, karena baris pantai tidak lagi dilindungi oleh
pohon-pohon. Pantai dapat tereduksi
menjadi suatu jalur sempit yang berpasir atau menjadi hamparan-hamparan garam
yang tidak ramah. Pusat-pusat pemukiman penduduk menjadi lebih rawan
terhadap banjir.
Lebih lanjut Djamaluddin (1999),
menyatakan bahwa secara ekologi hutan mangrove dapat mencegah erosi tanah,
melindungi benih-benih yang sedang tumbuh dari gangguan ombak, memberikan unsur
hara kepada tanah serta menyediakan habitat bagi ikan dan krustacea.
Menurut Nontji (2002), bahwa
sumbangan terpenting hutan mangrove terhadap ekosistem perairan pantai adalah
lewat luruhan daunnya yang gugur berjatuhan ke dalam air. Luruhan daun mangrove ini merupakan sumber
bahan organik yang penting dalam rantai pakan (food chain) di dalam lingkungan perairan yang bisa mencapai 7-8
ton/ha/tahun. Kesuburan perairan
disekitar kawasan mangrove kuncinya terletak pada masukan bahan organik yang
berasal dari guguran daun ini. Daun yang
gugur ke dalam air segera menjadi bahan makanan bagi berbagai jenis hewan
air. Atau dihancurkan lebih dulu oleh
jamur (fungi) dan bakteri. Hancuran bahan-bahan organik (detritus) kemudian menjadi bahan makanan
penting bagi cacing, krustacea dan hewan-hewan lain. Pada tingkat berikutnya hewan-hewan ini pun
menjadi makanan bagi hewan-hewan lainnya yang lebih besar dan seterusnya.
b.
Peranan
Mangrove dari Segi Biologi
Secara biologi peranan mangrove yang
menyangkut rantai makanan, ekosistem mangrove merupakan produsen primer melalui
serasah yang dihasilkan. Serasah hutan setelah melalui dekomposisi oleh
sejumlah mikroorganisme, menghasilkan detritus dan berbagai jenis fitoplankton yang akan
dimanfaatkan oleh konsumen primer yang terdiri dari zooplankton,ikan dan udang,
kepiting sampai akhir dimangsa oleh
manusia sebagai konsumen utama. Vegetasi hutan mangrove juga merupakan pendaur
ulang hara tanah yang diperlukan bagi tanaman. Hasil penelitian di Florida
menunjukkan bahwa 90% kotoran hutan menghasilkan 35-60% unsur hara yang
terlarut di pantai. Selain daun bakau-bakau (Rhizophora spp) pada awal
pembusukannya mengandung kadar protein 3.1% dan setelah satu tahun meningkat
menjadi 21%. Kadar N daun kering adalah sekitar 0.55% dan diperkirakan setelah
satu tahun menghasilkan sekitar 47 kg N. Dan dalam satu hektar lahan hutan
mangrove serasahnya dapat mencapai 7.1-8.8 ton per tahun (Syah, 1985).
Dalam hal peranan hutan mangrove sebagai wilayah asuhan biota perairan,
Hatsir Hessa (1987) dalam Syah
(1988), menjelaskan bahwa sebagian besar udang bernilai ekonomis penting di
laut memanfaatkan estuari sebagai asuhan.
Udang Galah (Macrobarachionus sp.)
masuk ke dalam estuari untuk memijah, sedangkan larva dan juvenilnya akan
kembali ke sungai. Ikan-ikan yang masuk
banyak Siluroides, Pleuronectiformes, dan Polineforme
merupakan yang dominan tertangkap dengan jala.
Berdasarkan ukuran dan tingkat kedewasaan ternyata ikan-ikan yang
tertangkap belum dewasa. Hal ini
menunjukkkan bahwa daerah tersebut adalah daerah asuhan.
Ekosistem mangrove merupakan tempat
asuhan (nursery ground) dan mencari
makan (feeding ground) bagi
sebahagian besar jenis ikan dan udang, dan di dalam ekosistem mangrove yang
kaya akan unsur hara ini, hewan-hewan
muda akan tumbuh secara lebih bagus menjadi dewasa dan terhindar dari hewan
predator (Hardjosuwarno, et al., 1982).
Ekosistem mangrove juga berperan
sebagai daerah asuhan dan bermain serta mencari makanan dari berbagai macam
ikan (Sukardjo, 1985). Berbagai jenis
hewan laut hidup di kawasan ini sangat bergantung pada eksistensi hutan
mangrove. Perairan mangrove dikenal
berfungsi sebagai tempat asuhan (nusery
ground) bagi berbagai jenis hewan aquatik yang mempunyai nilai ekonomi
penting, seperti ikan, udang, dan kerang-kerangan (Nontji, 2002).
Banyak penelitian menunjukkan bahwa
mangrove memainkan peran yang penting bagi beberapa spesies ikan yang ada ,di
pesisir. Kasus terbanyak adalah udang, dimana udang dewasa yang berada di laut dan larva menuju ke
pesisir dengan aktif berenang dan secara
pasif dibawa oleh arus pasang surut. Sebagai fungsi tempat pembesaran,ekosistem
mangrove dapat dijelaskan oleh tiga faktor: tingkat tropik sumberdaya,
kekeruhan air,dan keanekaragaman yang terstruktur.
- Pertama, konsentrasi bahan organik yang sangat tinggi pada ekosistem estuary termasuk mangrove disebabkan karena adanya aliran air tawar,sebagai penjebak zat hara,pencampuran air yang disebabkan oleh adanya pasang surut dan terjadinya modulasi lingkungan (Knox 1986) Semua faktor diatas menghasilkan produktivitas yang tinggi di ekosistem ini. Dan hal ini merupakan dasar dari jaring makanan pada ekosistem mangrove dimana jenis-jenis larva udang,plankton dan juvenil ikan tersedia melimpah dan beraneka ragam.
- Kedua, kekeruhan yang terjadi di suatu perairan dapat mengakibatkan menurunnya jangkauan jarak penglihatan dari predator yang ada di wilayah tersebut dan memperluas daerah pembesaran ikan,dan akhirnya dapat meningkatkan tingkat hidup dari ikan-ikan muda yang banyak terdapat pada ekosistem tersebut.
- Ketiga, struktur keanekaragaman dan tersedianya habitat yang sesuai dengan ekosistem mangrove dalam penyediaan ruang yang lebih luas dan adanya niche yang bertingkat merupakan hal yang penting dan mengakibatkan banyaknya ikan-ikan muda yang tersedia di ekosistem ini.
c.
Peranan
Mangrove dari Segi Ekonomi
Peranan mangrove dari segi ekonomi antara lain dimanfaatkan untuk berbagai
keperluan, yaitu:
- Sumber bahan bakar untuk memasak, kayu bakar yang digunakan untuk mengasapi ikan dan keperluan bahan bakar lainnya.
- Sumber bangunan: material pembuatan kapal, perahu layar, papan untuk dinding rumah dan sebagainya.
- Bidang pertanian yang mencakup makanan ternak, pupuk hijau.
- Bahan baku pabrik kertas.
- Makanan, obat-obatan dan sayur-sayuran.
Peranan mangrove dari segi ekonomi antara lain dimanfaatkan berbagai
keperluan, produk hutan mangrove dapat dipergunakan sebagai bahan bakar,
pembuatan arang, bahan penyamak untuk berbagai perabot rumah tangga, bahkan
konstruksi bangunan, obat-obatan, sebagai bahan pembuat kertas, selain itu
kawasan mangrove juga sering dialihfungsikan misalnya dijadikan areal
pertambakan, pertanian atau dijadikan daerah pemukiman (Nontji, 2002).
Selanjutnya menurut Djamaluddin
(1999), bahwa secara ekonomi pohon mangrove digunakan untuk produk kayu bakar,
bahan bangunan dan penanaman rumput laut.
Bahkan Saenger et al., (1983)
telah mengidentifikasikan lebih dari 70 macam kegunaan pohon mangrove bagi
kepentingan umat manusia, baik produk langsung seperti: bahan bakar, bahan
bangunan, alat penangkap ikan, pupuk pertanian, bahan baku kertas, makanan,
obat-obatan, minuman dan tekstil maupun produk tidak langsung seperti: tempat
rekreasi dan bahan makanan. Menurut
Nasrawati (1998), bahwa pemanfaatan hutan bakau oleh masyarakat secara umum
digunakan untuk kayu bakar, bahan bangunan, obat-obatan, tambak dan sumber
sayuran. Sesuai dengan pernyataan
Dahuri, dkk., (1996) bahwa sekitar 50
produk langsung dan tidak langsung di hutan bakau berupa kayu bakar, bahan
bangunan, alat penangkapan ikan, pupuk, bahan baku kertas, bahan makanan,
obat-obatan, minuman, peralatan rumah tangga, bahan baku tekstil, kulit, madu,
lilin dan tempat rekreasi.
Dalam manajemen pengelolaan ekosistem mangrove terdapat kelemah dalam pengelolaannya, baik dalam sumberdaya
manusia, perencanaan, pengorganisasi/ pelembagaan, pelaksanaan dan pengawasan,
serta keterbatasan data dan informasi sumberdaya hutan mangrove serta IPTEK
untuk mendukung penataan ruang, pembinaan, pemanfaatan dan perlindungan serta
rehabilitasinya mendorong terjadinya degradasi hutan mangrove. Kondisi yang
demikian sering menimbulkan tumpang tindih pemanfaatan hutan mangrove, terutama
dalam hal perutukannya, antara lain tumpang tindih dalam pemanfaatan antara bidang
kehutanan, pertanian/perikanan, pertambangan, transmigrasi, perhubungan,
pariwisata, dan perindustrian. Terjadinya konflik kepentingan dalam pemanfaatan
hutan mangrove mencerminkan pemikiran yang bersifat sektoral dan kurangnya
kesadaran dan pengetahuan mengenai manfaat dan fungsi hutan mangrove dari
pengambil kebijakan.
III. PELESTARIAN MANGROVE.
Menurut Hardjasoemantri (1986) menyatakan bahwa penyebab kerusakan hutan
mangrove bukan saja rakyat sekitar hutan yang miskin, tetapi juga para
pengusahan dan pejabat yang kurang berpengalaman dan tanggung jawabnya dalam
hal-hal yang menyangkut pelestarian sumber daya alam hutan. Lebih lanjut dikemukakan bahwa untuk
menanggulangi kerusakan hutan mangrove di daerah-daerah sumber benih dan udang
maka akan terus dilaksanakan usaha-usaha rehabilitasi hutan mangrove yang rusak
melalui kegiatan reboisasi dan penghijauan.
Sehubungan dengan pelestarian lingkungan pantai, Rahardjo (1986)
mengemukakan bahwa alternatif yakni lebar jalur hijau hutan meangrove dibatasi oleh
garis rata-rata pasang tertinggi.
Alternatif ini dapat diambil bila diinginkan daya guna biologis dan
perlindungan pantai yang maksimum atau pada daerah yang berpantai terjal yang
memerlukan perlindungan. Alternatif
lainnya juga disebutkan bahwa lebar jalur hijau hutan bakau dibatasi oleh garis
rata-rata permukaan laut. Kebijaksanaan
ini diperlukan oleh daerah pantai yang memungkinkan bagi usaha pertambakan.
Jalur hijau hutan mangrove diklasifikasikan sebagai hutan lindung yakni merupakan daerah yang berfungsi
sebagai pelindung tanah terhadap erosi pantai, pelindung tepi sungai, pelindung
tepi bangunan jalan, jalur yang berperan sebagai tempat asuhan bagi kepentingan
perikanan dan stabilitas ekosistem perairan.
Disamping sebagai jalur hijau, hutan mangrove juga dapat berperan
sebagai filter terhadap pencemaran industri, karena kemampuannnya menyerap
logam berat, hidrokarbon dari minyak dan sebagainya. Serta mengurangi meluasnya intrusi air laut
(Darsidi dan Liang, 1986).
Jalur hijau hutan mangrove merupakan suatu ekosistem yang mampu
menghasilkan bahan organis yang penting peranannya untuk mempertahankan
produktifitas perairan.
Jalur hijau mangrove merupakan suatu ekosistem yang mampu menghasilkan
bahan organik yang penting peranannya untuk mempertahankan produktifitas
perairan dan juga dimaksudkan
sebagai penyangga daratan dari
perembesan air laut serta pencegahan erosi, ombak dan hempasan air laut yang
kuat (Soewito, 1982).
Hal ini dikuatkan dengan adanya surat keputusan bersama Menteri Pertanian
dan Menteri Kehutanan Nomor KB550/264/Kpts/4/1984 dan Nomor 082/Kpts-II/1984,
tanggal 30 April 1984, dimana diantaranya disebutkan bahwa lebar sabuk hijau
hutan mangrove adalah 200 m. Surat
Keputusan Bersama ini dibuat selain dengan tujuan utamanya untuk memberikan
legitimasi terhadap perlindungan hutan mangrove, juga dibuat untuk
menyelaraskan peraturan mengenai areal perlindungan hutan mangrove diantara
instansi-instansi terkait (Bengen, 2001).
Surat Keputusan Bersama ini lebih lanjut dijabarkan oleh Departemen
Kehutanan dengan mengeluarkan Surat Edaran Nomor 507/IV-BPHH/1990 yang
diantaranya berisi penentuan lebar sabuk hijau pada hutan mangrove, yaitu lebar
200m disepanjang pantai dan 50 m disepanjang tepi sungai (Bengen, 2001).
Selain pelebaran jalur hijau, upaya pelestarian dapat dilakukan dengan
melakukan rehabilitasi hutan mangrove yang telah mengalami kerusakan terutama
yang sudah berada dalam batas yang mengkhawatirkan. Kerusakan ekosistem tempat
berbagai jenis satwa laut ini tinggal dapat disebabkan oleh penebangan liar.
Sebab lainnya adalah tambak-tambak dan kolam-kolam perikanan air payau yang
menyedot habis air dari ekosistem alami mangrove. Dan, yang paling parah adalah
ditebangnya hutan bakau untuk pemukiman.
Muncul pertanyaan, mengapa keberadaan hutan mangrove perlu dijaga
kelestariannya? Dalam dunia perikanan, hutan mangrove berfungsi antara lain
sebagai tempat mencari makan, berlindung, dan tempat berbiaknya beberapa jenis
fauna akuatik seperti udang, ikan, dan moluska. Di samping itu kawasan hutan
bakau (mangrove) mempunyai arti penting dalam ekosistem pantai baik dari segi
ekologis maupun ekonomis. Untuk itu rehabilitasi hutan bakau dilaksanakan
sebagai salah satu upaya yang bertujuan menjaga dan mengembalikan fungsi hutan
bakau sebagai salah satu penyangga sistem kehidupan khususnya di wilayah
pantai. Upaya rehabilitasi mangrove tidak dapat dipisahkan dengan upaya
memberdayakan masyarakat pantai.
Oleh karenanya itu perlu adanya kegiatan untuk rehabilitasi hutan mangrove
yang didasarkan pada kriteria sebagai berikut
a. Kondisi Fisik dan Sosial Ekonomi
Iingkungan.
Kondisi fisik didasarkan pada hasil survey dilapangan yang berupa tekstur
tanah, struktur tanah, salinitas tanah dan air, pH tanah dan air, serta
aktlvitas masyarakat di sekitar hutan mangrove.
b. Fungsi Ekosistem Mangrove
Fungsi ekosistem didasarkan pada (a) fungsi ekologis berupa habitat
kehidupan flora dan fauna mangrove, sistem penyangga kehidupan, menjaga
kesuburan tanah, pengatur tata air, mencegah erosi, serta pengawetan flora dan
fauna. (b) fungsi produksi misalnya untuk produksi kayu, (c) fungsi sosial
ekonomi yaitu untuk tambak dan nelayan, (d) fungsi rekreasi dan wisata.
c. Kegiatan Pemanfaatan Hutan Mangrove
Kegiatan pemanfaatan areal mangrove sebagai (1) buffer zone atau green belt
bagi masalah intrusi dan abrasi, menjaga garis pantai tetap stabil,melindungi
pantai dan tebing sungai,mencegah terjadinya erosi pantai , serta sebagai zat
perangkap zat pencemar dan limbah. (2) untuk konversi tambak ikan dan udang intensif,
(3) sistem silvofishery, (4) konversi menjadi pemukiman (5) hutan lindung dan
suaka margasatwa, (6) hutan wisata.
d. Jenis Tanaman Mangrove yang Dipilih
Jenis tanaman mangrove yang dipilih untuk ditanam di areal rehabilitasi
adalah jenis tanaman yang memiliki kecocokan dengan kondisi lingkungan dan
disukai oleh masyarakat.
Kawasan hutan mangrove yang rusak terdapat di hutan mangrove yang memiliki
kerapatan jarang hingga sangat jarang. Kondisi hutan mangrove di daerah
tersebut kalau tidak segera direhabilitasi dikhawatirkan akan rusak parah. Oleh
karena itu, untuk mempertahankan fungsi ekologis hutan mangrove, rehabilitasi
mangrove perlu dilakukan di kawasan hutan mangrove yang mempunyai kerapatan
jarang hingga sangat jarang atau yang sudah gundul.
Prinsip pemilihan tanaman adalah bahwa jenis yang sama dengan yang telah
ada di lokasi merupakan pilihan terbaik. Artinya apabila yang ada adalah Avicennia sp., maka yang ditanam pun
harus jenis tersebut. Meskipun pada
beberapa kasus, jenis Rhizophora
sering digunakan karena bibit mudah didapat dan pertumbuhan relatif lebih cepat
dibandingkan jenis lain. Pada wilayah pesisir yang terbuka, jenis pohon yang
dominan dan merupakan pohon perintis umumnya adalah api-api dan pedada.Api-api
lebih senang hidup pada tanah berpasir agak keras,sedangkan pedada pada tanah
yang berlumpur lembut.Pada daerah yang
terlindung dari hempasan ombak,komunitas mangrove biasanya didominasi oleh
pohon bakau. Lebih kearah daratan (hulu),pada tanah lempung yang agak pejal biasanya tumbuh komunitas tanjang.Nipa
(Nypa) merupakan sejenis palma dan merupakan komponen penyusun ekosistem
mangrove sering kali tumbuh di tepian
sungai lebih ke hulu, pengaruh aliran air tawar dominan.
Parameter lingkungan yang utama yang
menentukan kelangsungan hidup dan pertumbuhan mangrove adalah:
-
Pasokan air tawar dan salinitas
-
Stabilitas substrat
-
Pasokan nutrien
Ketersediaan air tawar dan salinitas (kadar garam) mengendalikan efisiensi
metabolisme dari ekosistim mangrove.Ketersediaan air bergantung pada :
-
Frekuensi dan volume aliran air tawar
-
Frekuensi dan volume pertukaran pasang surut
-
Tingkat evaporasi
Stabilitas substrat, kondisi yang diperlukan bagi pertumbuhan mangrove
adalah nibah (ratio) antara laju erosi dan pengendapan sedimen, yang sangat
dipengaruhi oleh kecepatan aliran air tawar dan muatan sedimen yang
dikandungnya,laju pembilasan oleh arus pasang surut ,dan gaya gelombang. Sedang
pasokan nutrien bagi ekosistem mangrove ditentukan oleh berbagai proses yang
saling yang terkait, meliputi input/export
dari ion-ion mineral anorganik dan bahan organik serta pendaurulangan
nutrien secara internal melalui jaring makanan berbasis detritus.
Konsentrasi relatif dan nisbah (ratio)
optimal dari nutrien yang diperlukan untuk pemeliharaan produktivitas ekosistem
dan ditentukan oleh :
-
Frekuensi, jumlah dan lamanya penggenangan oleh air asin
atau air tawar
-
Dinamika sirkulasi internal dari kompleks detritus (Odum 1982)
REFERENSI
BUKU
Abdullah, A. 1986. Debur Lautan Kita. Kantor Menteri Negara Kependudukan dan
Lingkungan Hidup. Jakarta.
Bengen, D. D., 2001. Pengenalan dan
Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Pusat
Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan-IPB.
Bogor.
Brotowidjoyo, M.D., 1995. Pengantar
Lingkungan Perairan dan Budidaya Air.
Liberty. Yogyakarta.
Dahuri, R., J. Rais, S.P., Ginting, M.J., Sitepu., 1996.l Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan
Lautan Secara Terpadu. Pradnya
Paramita. Jakarta.
Darsidi, A. dan Lang, D.H., 1986.
Jalur Hijau Hutan Mangrove dalam Konteks Tata Guna Hutan Pnatai (Makalah
pada Diskusi Panel Daya Guna dan Batas Lebar Jalur Hijau Hutan Mangrove). Ciloto.
Panitia Program MAB-LIPI.
Jakarta.
Djamaluddin, R., 1999. Vegetasi
Mangrove di Taman Nasional Bunaken, Sulawesi Utara, Indonesia. Wallacean Conservation Bulletin No. 1. Manado.
Hardjosoemantri, K., 1986. Hukum
Tata Lingkungan. Gadjah Mada University
Press. Yogyakarta.
Nontji, A., 2002. Laut Nusantara. Djambatan.
Jakarta.
Nybakken, J.W., 1992. Biologi Laut;
Suatu Pendekatan Ekologis. PT.
Gramedia. Jakarta.
Odum,W.E., 1982. The Ekologi of the
Mangrove of South Florida a Community Profile.Washington D.C.
Pangerang, U.K., 1998. Kontribusi
Ekstraksi Kayu Bakau Terhadap Pendapatan Masyarakat Nelayan (Studi Kasus di
Desa Latawe Kec. Napabalano Kab. Muna Prop. Sulawesi Tenaggara). Lembaga Penelitian Universitas Haluoleo. Kendari.
Syah, A., 1988. Dampak Eksploitasi
Hutan Bakau Terhadap Lingkungan. Thesis
Program Pasca Sarjana Universitas Hasanudin.
Ujung Pandang.
Whitten, J.A., 1987. Ekologi
Sulawesi. Gadjah Mada University
Press. Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar